Indahnya Belajar dan Mengajar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Posted by admin - -

Saya bisa dibilang hampir tidak pernah memasak sendiri sampai saat saya nge-kost waktu kuliah. Itupun tidak rutin setiap hari, hanya pada momen-momen tertentu bersama-sama kawan-kawan satu kost. Entah kenapa, ibu saya pun tidak pernah terlalu ambil pusing, mungkin karena ibu saya percaya bahwa setiap perempuan sejatinya bisa memasak. Kepercayaan itu pada akhirnya menjadi sugesti saya juga.

Kehidupan bisa dibilang benar-benar berubah setelah pernikahan, berubah dalam arti kebiasaan. Sejak awal menikah saya sih dengan pedenya pingin full time di rumah, no outdoor job. Perkara sekarang saya malah bekerja, itu beda cerita. Karir di rumah pun saya mulai. Saya yang tadinya adalah seorang yang aktif di luar rumah (banyak aktivitas di luar rumah), menjalani kehidupan full di dalam rumah (ya,sesekali keluar jika ada keperluan atau refreshing bersama suami). Saya yang tadinya jarang sekali ke dapur pun menghabiskan banyak waktu di dapur setiap harinya. Tak ada kecemasan yang berarti, saya sih pede saja karena kemudahan komunikasi yang telah difasilitasi teknologi dewasa ini.


Awal-awal bereksperimen di dapur (baca : memasak), yang saya lakukan adalah meng-sms dan atau menelpon ibu. Saya tanya resepnya, saya catat baik-baik, kemudian saya praktekkan seperti mengerjakan praktikum dengan panduannya. Lama-lama, memasak itu ternyata terasa mudah. Resep-resep yang paten dari ibu setelah dilakukan berulang-ulang pun menjadi hapal dengan sendirinya.Lalu, insting saya pun berkembang, mulai ingin melakukan eksperimen-eksperimen kecil. Seolah-olah rasa sebuah masakan bisa dibayangkan dengan mengetahui bumbu-bumbu dasar dan tentu, banyak melihat acara masak-memasak di televisi.

Waktu terus bergulir, sampailah jodohku bertemu dengan komunitas ibu profesional. Salah satu materi yang aku dapat dari Ibu Septi adalah Menu Sepuluh Hari dalam kurikulum Bunda Cekatan. Pertama kali mengikuti materi menu sepuluh hari saya masih belum mempraktekkan, karena waktu itu saya masih beraktivitas full di rumah dan belum punya lemari pendingin. Jadi setiap hari pergi berbelanja. Saya sejak awal memang tidak pernah ambil pusing jika awalnya berencana memasak A dan ternyata ada yang kurang. Alhamdulillah karena suami saya nggak rewel untuk urusan makanan. Buktinya, masakan saya masih sering ngalor ngidul pun nggak pernah protes dan selalu habis, hehehe...

Setelah saya mengajar, tentunya banyak hal dan kebiasaan yang harus berubah. Salah satunya adalah memasak. Jika sebelumnya bisa dilakukan dengan santai dan menghabiskan banyak waktu, karena harus pergi mengajar maka aktivitas memasak ini harus dilakukan sepraktis mungkin, termasuk dalam pengadaan bahan-bahannya (baca: belanja). Periode pertama saya menerapkan menu sepuluh hari hanyalah membeli bahan-bahan untuk 10 hari, lalu saya masukkan dalam keresek putih untuk diawetkan dengan lemari pendingin. Setiap hari setiap kali ingin memasak saya masih harus merajang sayur juga mengupas bumbu. Lama kelamaan, ternyata tanggung jawab mengajar makin menyita waktu dan tenaga. Seringkali aku merasa kecapekan dan malas memasak, ujung-ujungnya kami pun jajan, sehingga kami merasakan anggaran yang membengkak karena sering jajan di luar. 

Kami pun melakukan evaluasi. Saya pun membuka rekaman kuliah bunda cekatan tentang Menu 10 Hari, saya dengarkan dengan seksama, saya tulis poin-poinnya, dan saya renungkan beberapa hari. Untuk perhitungan gizi seimbang yang disampaikan bu Septi, saya memang tidak terlalu paham, masih bingung untuk melakukan perhitungan secara rinci dan detail. Namun, intinya kami sepakat untuk menerapkan menu 10 hari dengan lebih baik untuk lebih efisien dan efektif. Arahan Bu Septi menyediakan bahan selama 10 hari adalah dengan packing menu per harinya seperti sayuran paket yang dijual di supermarket-supermarket (lihat gambar di atas). Namun, mempertimbangkan aspek keramahan lingkungan maka saya dan suami memutuskan untuk melakukan sedikit improvisasi. 

Semua sayur kami beli setiap jumat untuk persediaan sampai dengan jumat berikutnya. Semua sayur kami olah dulu (cuci, potong, keringkan) sampai siap dimasak (sampai tinggal di cemplung-cemplungkan saja) Begitu juga dengan bumbu, bumbu-bumbu basah seperti bawang dan brambang dikupas terlebih dahulu, bumbu-bumbu kering dihaluskan terlebih dahulu. Semua bahan per menu dipacking dengan kotak-kotak penyimpanan dengan ukuran yang sesuai. Dengan demikian, sekarang memasak bisa dilakukan hanya dalam waktu 5 menitan. Alhamdulillah, saya pun tidak lagi merasa malas untuk memasak meskipun sudah terasa lelah setelah mengajar.

Ada beberapa nilai plus menyiapkan menu makan dengan cara semacam itu. Selain lebih efektif, cara seperti itu memungkinkan siapapun bisa memasak, suami dan anak-anak (yang sudah cukup umur)  bisa belajar memasak. Namun, ibu tetap sebagai perencana menunya. Hal ini akan memicu kemandirian anak, juga apabila sewaktu-waktu ibu tidak enak badan, anggota keluarga lain tetap bisa memasak. Kreativitas dalam memasak juga bisa dikembangkan, karena ibu memang sudah menyiapkan menu per hari tapi tidak menutup kemungkinan untuk mengubah atau memodifikasi rencana semula asalkan bahan dan bumbunya masih sesuai.